Pemerintah Perlu Hati-Hati Terapkan Penjurusan di SMA, Dosen UMK Kudus: Berpotensi Mempersempit Visi Pendidikan

KUDUS, Kabarhariini.id – Pemerintah pusat berencana menerapkan kembali sistem penjurusan di tingkat SMA melalu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Kebijakan ini kembali diberlakukan setelah sebelumnya sistem penjurusan dihapuskan selama penerapan Kurikulum Merdeka.
Dosen Bimbingan dan Konseling (BK) Universitas Muria Kudus (UMK) Nur Mahardika pun ikut memberikan tanggapannya terkait wacana kebijakan baru tersebut. Menurutnya, perubahan ini tidak hanya sekadar soal struktur kurikulum, tetapi juga menyentuh aspek fundamental Pendidikan.
Oleh karena itu, kata dia, jika pemerintah memang bersikeras melanjutkan kebijakan ini, maka pendekatannya harus hati-hati, terbuka terhadap masukan, dan yang terpenting siap dikoreksi jika terbukti tidak efektif.
Salah satunya tentang bagaimana mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan yang semakin kompleks tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kebebasan bereksplorasi.
Ia menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mempersempit visi pendidikan. Kurikulum Merdeka, yang dirancang untuk memberi kebebasan siswa mengeksplorasi minatnya, tiba-tiba dipangkas dengan pembatasan jurusan.
“Padahal, dunia saat ini justru membutuhkan individu dengan kemampuan lintas disiplin. Ambil contoh isu perubahan iklim, solusinya tidak hanya datang dari sains (IPA), tetapi juga kebijakan (IPS) dan komunikasi (Bahasa). Dengan memaksa siswa memilih satu jurusan, kita mungkin tanpa sadar membatasi potensi mereka untuk berpikir secara holistik,” jelasnya.
Persoalan lain yang tak kalah pelik adalah dampak psikologis pada siswa, dimana memilih jurusan di usia 15–17 tahun bukanlah perkara sederhana. Ini adalah fase di mana remaja sedang gencar membentuk identitas diri, sering kali melalui trial and error.
“Bayangkan seorang siswa yang sebenarnya mencintai sastra, tetapi memilih jurusan IPA karena tekanan orang tua atau anggapan bahwa ‘IPA lebih bergengsi’. Bukan tidak mungkin ia akan mengalami stres akademik, kehilangan motivasi, atau bahkan merasa terasing dari dirinya sendiri,” urainya.
Pertanyaan krusial lain, sambung Dika, ialah apakah sistem penjurusan tradisional masih relevan di era ketika batas-batas disiplin ilmu semakin kabur. Mengutip dari laporan World Economic Forum (2023) memperkirakan bahwa 65 persen pekerjaan masa depan belum ada hari ini, yang berarti siswa tidak cukup hanya menguasai satu bidang, mereka perlu lentur, adaptif, dan mampu menghubungkan pengetahuan dari berbagai disiplin.
“Sebagai perbandingan, Finlandia salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia tidak menerapkan penjurusan kaku di sekolah menengah, siswa diberi kebebasan memilih mata pelajaran sesuai minat, dengan bimbingan konselor yang intensif. Hasilnya, mereka tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir kritis dan kreativitas yang dibutuhkan di abad ke-21,” tegasnya.
Lebih lanjut, kata Dika, kebijakan penjurusan kembali di SMA ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan struktur yang jelas untuk memenuhi kebutuhan tes standar, sementara di sisi lain, ia berisiko mengerdilkan potensi siswa dan mengabaikan tuntutan zaman akan sumber daya manusia yang multifaset.
“Bagaimanapun, tujuan akhir pendidikan bukanlah menghasilkan lulusan yang hanya pandai menghafal, tetapi individu yang siap menghadapi kompleksitas kehidupan dengan wawasan luas dan mental tangguh,” pungkasnya.(Lingkar Network | Nisa Hafizhotus S – Kabarhariini.id)